Now Playing: Jenifer Lopez Feat Pitbul - On The Floor.mp3
pasar bebas itu - MY LIFE IS FULL DESIGN

MY LIFE IS FULL DESIGN

Your description goes here

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Popular Posts

Hello world!
Righteous Kill
Quisque sed felis

Kampus W

Kampus W
ni logo kampus w


Entri Populer

Total Tayangan Halaman

Entri Populer

About Me

Foto Saya
Always in the future
Lihat profil lengkapku

Thumbnail Recent Post

Righteous Kill

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Quisque sed felis

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Etiam augue pede, molestie eget.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Hellgate is back

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit ...

Post with links

This is the web2feel wordpress theme demo site. You have come here from our home page. Explore the Theme preview and inorder to RETURN to the web2feel home page CLICK ...

Cari Blog Ini

Kalau Anda berasal dari pedesaan pasti memiliki cerita kenangan tentang pasar. Banyak anak-anak di pedesaan selalu berbinar-binar ketika hari pasar tiba karena pasar memang tidak setiap hari ada. Jadi bayangannya ketika ada hari pasar anak-anak bisa jajan, atau anak-anak mempunyai harapan akan dibelikan sesuatu dari orang tuanya. Apalagi menjelang lebaran, saat akan mendapatkan baju baru. Pasar memang menjadi peristiwa dan perhelatan bagi anak-anak sampai orang dewasa. Pasar menjadi tempat pertemuan, tempat ngrumpi, menjadi pusat informasi selain tentu saja mempunyai fungsi pokok yakni menjadi tempat interaksi antara si penjual dan si pembeli. Maka tidak mengherankan kalau pasar menjadi ajang lobby politik, juga untuk mengetahui perkembangan apa yang sedang terjadi di daerah lain.
Rata-rata putaran penyelenggaraan pasar di masing-masing tempat 2 sampai 5 hari sekali. Selain nama-nama hari yang dikenal jumlahnya tujuh hari (Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu) namun di Jawa ada 5 hari yang sering dimaknai sebagai hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon). Jadi putaran penyelenggaraan pasar terjadi 5 hari sekali. Ada pasar Legi di desa tertentu yang lebih banyak untuk menjual hasil-hasil bumi, ada Pasar Kliwon di desa anu yang lebih khusus menjual grabah dan alat-alat pertanian, ada Pasar Pon di wilayah lain yang khusus menjual hewan (maka sering dikenal dengan pasar hewan). Selain penyelenggaraan pasar yang lumintu itu, juga ada pasar-pasar khusus yang biasanya terjadi pada hari-hari besar (lebaran misalnya) yang biasanya jauh lebih lengkap barang-barang dagangan dan jauh lebih besar—sering disebut dengan prepegan. Ada juga pasar malam yang memang diselenggarakan di malam hari biasanya disertai dengan berbagai pertunjukan atau hiburan—namun perhelatan seperti ini tidak mesti terjadi setahun sekali.
Pengertian Pasar dipahami secara arief dan sederhana, sebuah interaksi jual beli memang sudah diniati sejak dari rumah karena ada kebutuhan untuk mendapatkan sesuatu—tanpa dipaksa dan terpaksa, bahkan untuk menjual atau membeli telah dipikir masak-masak bahkan melalui perdebatan di keluarganya minimal selama 5 hari sebelum pasar itu tiba. Tentu saja di dalam pasar itu ada saja orang-orang yang menipu, ada yang mengambil barang diam-diam dan kecil-kecilan, itu disebut ngutil, ada yang khusus mengambil uang dari kantong celana atau baju atau dompet secara cepat, itu disebut copet. Namun profesi-profesi itu biasanya sudah diketahui oleh khalayak, baik ciri-ciri wajah, pola-pola gerak-geriknya maupun dari mana asalnya (biasanya dari tempat-tempat tertentu), sehingga kewaspadaan sesungguhnya telah melekat pada setiap orang yang akan pergi ke pasar. Namun profesi seperti itu mengandung resiko besar, tidak jarang juga orang-orang itu tertangkap basah di pasar dan pasti akan diadili beramai-ramai, minimal mereka akan dipermalukan.
Melihat penyelenggaraan pasar, tentunya dulu ada kesepakatan kapan dan di mana pasar itu diselenggarakan, bahkan spesial untuk jenis produk apa yang akan dijual di pasar itu. Jelas ada sirkulasi produksi dan kapan dipasarkan bukan dieksploitasi setiap hari, apalagi setiap jam, menit dan detik—sejalan dengan kapan waktunya produk itu dibutuhkan; misalnya alat-alat pertanian, grabah, alat-alat rumah tangga tidaklah setiap hari orang akan membeli.
Pasar bagi masyarakat bukanlah momok apalagi terkesan monster—pasar bahkan menjadi tempat bercanda bagi ibu-ibu, pasar juga menjadi tempat untuk menukar benih-benih pertanian antar petani yang akan menanam, tempat menukar sekian kambing dengan seekor sapi, kelak di zaman modern disebut barter. Yang jelas sebagian proses penyelenggaraan pasar dikendalikan bersama-sama oleh masyarakat. Ada banyak kesepakatan-kesepakatan tak tertulis yang ternyata sangat dipatuhi di pasar itu yang intinya untuk melindungi kepentingan bersama.
Mulailah jaman modern masuk dan menginterfensi, mengatur bahkan menguasainya. Aturan-aturannya berubah bahkan secara fisik pasar oleh para modernis dianggap kumuh dan tak teratur maka harus dibangun. Konsep pembangunan pasar menjadi tak bisa dijangkau lagi oleh masyarakat, yang terjadi penghuni asli pasar yang ada selama ini harus menyingkir, tergusur karena dianggap tak pantas. Penyelenggaraan pasar tidak lagi harus menunggu setiap hari pasaran, setiap saat ada pasar (dimana saja, kapan saja ada pasar). Nama-nama hari pasaran sudah tidak penting lagi. Padahal fungsi hari pasar bagi masyarakat juga terkait dengan hitungan-hitungan kehidupan lainnya. Orang sering memaknai hari kelahiran (weton) yang dihitung dari gabungan hari nasional dan pasaran, misalnya Sabtu Pahing, Jumat Kliwon. Juga terkait dengan hitungan-hitungan kapan hari yang tepat untuk menanam, untuk mendirikan rumah, untuk bepergian, untuk menikahkan anaknya, bahkan sekalipun untuk mengawinkan kambing. Kini nama-nama hari, apalagi hari pasaran menjadi tidak penting karena setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik orang boleh menginginkan apa saja, boleh melakukan apa saja, artinya metabolisme tidaklah penting lagi.
Kok sekarang ini ada lagi yang bernama Pasar Bebas! Apakah itu berbeda dengan pasar di kampungku dulu?!
Mengapa itu disebut pasar bebas? Apakah bebas itu berarti setiap orang bebas untuk menjual apa saja, atau apakah itu berarti negara bisa menjual apa saja, ataukah apakah itu berarti kita juga bebas untuk tidak menjual dan bebas untuk tidak membeli?
Memang di pasar kampung saya ada pencuri kecil-kecilan yang disebut ngutil dan nyopet, namun menurut pengalaman saya kejadian-kejadian itu bisa diatasi setidaknya oleh pengurus pasar, bahkan di tingkat masyarakat luas. Terus terang saya tidak bisa membayangkan bagaimana praktek pencurian yang terjadi dalam dunia pasar bebas, tentunya tidak seperti ngutil atau nyopet seperti yang terjadi di pasar kampung saya dulu. Di kehidupan pasar kampung saya dulu, ada juga istilah bank plecit yakni orang yang meminjamkan uang—yang biasanya untuk modal berdagang kecil-kecilan—dengan bunga yang cukup tinggi. Untuk orang seperti itu, kami semua tahu bahwa ia lintah darat dan dosanya besar. Tapi saya harus mengakui bahwa bank plecit itu tidak pernah memaksa, dan kadang kala memang itu berguna sebab bagi orang kecil, untuk pinjam dari bank pemerintah yang ada, yang bunganya kecil, ternyata juga tidak mudah bahkan cenderung bertele-tele. Di pasar bebas, saya dengar ada juga bank plecit bertaraf besar yang beroperasinya dengan cara memaksa dengan dalih negara dan instrumen pasar di sebuah negara dianggap ‘tidak sehat’. Ada-ada saja. Istilah ‘tidak sehat’, parameternya dan obatnya mereka yang menentukan. Jadi kata ‘bebas’ di sini berarti kira-kira hanya yang kuat saja yang bebas menentukan apa saja, bebas membeli apa saja dan bebas menjual apa saja. Sementara yang tidak kuat tidak pernah bebas untuk menjual dan tidak pernah bebas untuk membeli. Bagi yang lemah, barang-barang yang penting bagi kehidupannya bisa dipaksa untuk dijual ke yang kuat, dan bagi si lemah ia bisa dipaksa untuk membeli apa saja yang dijual oleh yang kuat.
Kata “pasar” masih tetap sama namun sungguh sangat jauh maknanya, walaupun saya sudah dikasih tahu bahwa yang terjadi dalam pasar bebas itu ada kejahatan-kejahatan terselubung, dan yang terjadi sudah tidak lagi sekadar menjual atau membeli barang, tetapi yang tak nampak adalah jual beli pikiran, sikap, prinsip bahkan menjual diri dan rasa kemanusiaan—tetap saja saya tidak paham, memang saya ini orang desa. Ada sebuah lagu jawa yang sangat tepat untuk menggambarkan situasi ini
Tibo bungahku
Yen aku dadi mitramu
Tindak-tandukmu mung tansah nggodha atiku
Opo karepmu
Aku mung tansah setuju
Janji sliramu ora gawe gelo atiku
Nanging kepiye
Sajak-sajake sliramu ngece
Marang aku ora nggape
Aku rumongso
Pancen aku bocah ndeso
Aku ora bonggo lan kurang tata krama
Pertanyaan-pertanyaan terus saja berkecamuk: “Siapa yang menjadi Kepala Pasar Bebas?”, “Siapa ya yang menjadi tukang Bea di Pasar Bebas?”. Karena kalau Kepala Pasar di kampung saya itu jelas rumahnya, jelas alamatnya, tak jauh juga dari rumahku. Sekali lagi semakin tak paham, bahkan sekarang ini aku tak paham dengan diriku sendiri, “Apakah betul segala kemauanku, segala keinginanku, niatku sungguh-sungguh dan senyata-nyatanya aku yang menentukan sendiri?”, Saya semakin tidak mudheng bahwa pikiranku juga telah dikendalikan oleh sesuatu yang tak pernah aku pahami—si Puthut EA mencoba menterjemahkan kegundahanku melalui lirik yang akan dinyanyikan pada malam 100 hari untuk mengenang sahabat saya Mansour Fakih.
Hujan Dusta
Anak Manusia terserak di sudut peta
Rasa cemas menjadi luka di dadanya
Bersama lemas pada letihnya cuaca
Ia mati tanpa laga dalam hening cipta
Kurasa semua telah tiba
Yang nyata digilas ribuan tanda
Kurasa semua telah tiba
Hujan dusta menggilas kita semua
Tangan industri meracuni tubuh Ibunda
Merampas segala yang kita punya
Kita anak haram yang harus disingkirkan
Lahir untuk menjadi tumbal zaman
Kurasa semua telah tiba
Yang nyata digilas ribuan tanda
Kurasa semua telah tiba
Hujan dusta menggilas kita semua

Leave a Reply